rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Sabtu, 17 Januari 2009

Hotel Prodeo : da fIrst heArt's dialog...

Oleh :Asma Azizah

Aku menyalakan rokokku. Bau tajam menyeruak bagai awan, memenuhi ruangan 2x2 meter yang menghimpit kami. Aku, dan seorang tanpa rambut.

”Sejak kapan kau gundul?” menyeruak lagi

”Aku tak ingat.”

”Kenapa tak ingat?”

”Mayat-mayat bergelimpangan.”

”Mayat? Di mana ada mayat?”

”Kau tak cium bau darah?”

”Anyir?”

“Ya.”

“Sama sekali tidak.”

“Gara-gara mayat.”

”Memangnya mayat kenapa? Bisa bikin lupa?”

”Baunya tajam.”

”Tajam?”

”Kau tahu?”

”Sama sekali tidak.”

”Di depanku ada bau mayat.”

”Hah? Kau anggap aku mayat?”

”Bukan. Rokok.”

”Rokok?”

”Asapnya.”

”Asapnya?”

”Tar dan nikotin. Itu bau mayat.”

”Mayat itu busuk darah. Tapi ini nikmat.”

“Nikmat mayat? Coba Tanya kanibal.”

“Su…”

“Tak usah sebut nama.”

”Baik. Dia sudah lama hilang dari peredaran kan?”

”Paru-parumu juga mayat.”

”Bah! Kau ini mayat melulu.”

”Karena aku dekat bau mayat.”

”Sudah sudah, menghinaku saja. Mari kembali lagi.”

”Ke mana? Dari tadi sudah di sini.”

”Rambut, ke mana rambutmu?”

”Kau tak melihat? Di wajahku masih ada rambut. Bahkan, kau bisa lihat kan? Tangan dan kakiku penuh rambut.”

”Bukan...”

”Lalu?”

”Rambut di kepala.”

”Mati.”

”Mati? Oleh siapa?”

”Kau! Tepatnya rokokmu.”

”Dasar gila! Rambutku masih utuh.”

”Kau belum lama, aku sejak SD.”

”Oh, jadi itu sebabnya anak SD sudah suka rokok.”

”Enak saja. Aku tak pernah buat iklan.”

”Kampanye?”

”Hah, lagak gara-gara pemilu sebentar lagi. Tidak, tidak juga. Aku tak ahli jadi politisi.”

”Lalu jadi apa?”

”Penghuni jalanan.”

”Jalanan? Jadi kau gepeng? Atau dajal?”

”Dajal? Atau dajjal?”

”Dajal, dewasa jalanan. Aku tahu kau bukan lagi anak-anak. Somatotropinmu didistribusikan dengan baik kan?”

”Ya, tapi tak sebaik gonadotropin, mungkin.”

”Tapi kau cukup dewasa.”

”Ya, aku cukup seimbang.”

”Jadi?”

”Bukan. Bukan jalan raya, atau jalan provinsi, atau jalan ekonomi. Tapi sirkuit F1.”

”F1? Bagaimana kabar Honda? Dia benar-benar tak ikut lagi?”

”Kau mau beli dia?”

”Haha, maaf, di sini tak sedia uang kurasa. Krisis global menyerang sampai sini. Kembali lagi.”

”Sudah kubilang, kita terus di sini.”

”Jadi apa kau di sirkuit F1?”

”Penonton layar. Atau penonton manusia.”

”Hanya penonton?”

”Sutradara tak memberiku kesempatan lebih.”

”Lalu rokok tadi?”

”Secepat itu kau beralih. Kau mau lupakan rambut gundulku?”

”Oke, tapi mungkin kusinggung lagi nanti.”

”Kau setuju pabrik rokok diberantas?”

”Kenapa tidak? Dunia sudah kotor.”

”Siapa bilang? Aku masih bisa menghirup udara segar di pagi hari.”

”Pun di ruangan ini?”

”Seandainya ada ventilasi.”

”Ventilasi besar bergigi jarang selalu menunggu di hadapan kita.”

”Lalu kau setuju?”

”Ya, rokok hanya habiskan uang.”

”Hehehe, dasar perokok!”

”Hehe, ya. Aku telah habiskan banyak uang.”

”Kalau pabrik rokok ditutup, apa yang akan terjadi.”

”Rokok tak ada lagi.”

”Salah! Karyawan bunuh diri.”

”Apa? Apa maksudmu? Apa cuma karyawan?”

”Coba saja hitung, berapa merk rokok yang kau hisap?”

”Aku hanya suka Gudang Garam.”

”Berapa merk rokok yang ada di Indonesia?”

”Hehe, kau pikir aku pengangguran? Menghitung yang begituan?”

”Kira-kira?”

”Ada hukuman jika salah?”

”Tidak.Tempat ini miskin sekali. Sebatang kayu pun tak ada.”

”Baiklah. Mungkin sekitar 30, eh 50.”

”Sukamu yang bulat.”

”Hehe.Mumpung dunia masih berbentuk bulat.”

”Apa setiap merk rokok cuma punya satu pabrik rokok?”

”Paling tidak di setiap kota ada.”

”Setiap kota?”

”Ralat, setiap kota besar.”

”Ada berapa kota besar?”

”Kalau tiap ibukota provinsi kota besar, minimal 33.”

”33 x 50 ?”

”Tak ada kalkulator di sini.”

”Oke. 1650.”

”Berapa kira-kira karyawan tiap pabrik?”

”Entahlah. Aku sedang suka uang 1000.”

”Ditambah personil atasan?”

”Entahlah, kau lebih tahu.”

”Kalau semua pabrik rokok ditutup, berapa yang akan menganggur?”

”1 juta orang, atau mungkin 2 juta orang.”

”Itu cuma karyawan. Mungkin ada 50 ribu lebih jajaran atas.”

”Ya, ya.”

”Kau berpikir petani? Penjual? Distributor?”

“Sama sekali tidak. Untuk apa? Aku tak bisa bebas dari sini.”

”Distributor mati. Petani kelimpungan, warung-warung tutup diri.”

“Dan aku akan mondar mandir sendiri.”

”Kau sudah nyambung?”

”Kau buatku pusing. Perutku belum terisi sejak tadi pagi.”

”Bukankah tadi kita sudah ’sarapan pagi’?”

”Ya, mengosongkan perutku.”

”Baiklah, kini aku yang berkata kembali. Begini, ini cuma teori rekaan. Rokok tak akan pergi.”

”Pergi dari mana?”

”Dunia! Jika pabrik rokok ditutup, berapa banyak manusia yang akan menjadi pengangguran terbuka? Siapa nanti yang mau membeli hasil panen petani tembakau? Siapa nanti yang akan membeli obat Tobacco Mosaic Virus? Atau mungkin pupuk tembakau. Berapa banyak tengkulak yang terpaksa cari pekerjaan lain. Lalu, berapa banyak penjual tutup warung gara-gara tak ada rokok? Berapa banyak orang yang tadinya terkaya jadi turun dolarnya? Terakhir, berapa pendapatan Indonesia akan turun drastis?”

”Jika pemerintah bisa carikan usaha baru yang setenar dan sangat menjanjika seperti rokok, tak akan ada cerita seperti itu.”

”Ya, jika pemerintah bisa.”

”Jika pemerintah mampu.”

”Djarum saja masih sanggup biayai atlit-atlit muda.”

”Jadi belum?”

”Belum.”

”Apakah kita terlalu kasar?”

”Oh ya? Coba tanya mereka.”

”Mereka sibuk rebutan kursi.”

”Kenapa tak lesehan saja seperti kita?”

”Ya. Kenapa tidak lesehan? Toh, ini lebih enak.”

”Ya, kembali ke Indonesia.”

“Mungkin kursinya itu kursi empuk yang bisa diputar-putar itu.”

“Atau sofa empuk yang bisa menelan siapa saja di atasnya.”

“Kalau begitu sofa empuk.”

“Kenapa?”

“Mereka tenggelam kan? Oleh kekuasaan dan uang?”

”Ya, sebagian besar. Kurasa tak semua orang seperti itu.”

”Buktinya?”

”Kadang kita baca di koran.”

”Kau gila! Sejak kapan ada koran di sini?”

”Ya, sejak kapan kita di sini?”

”Kau 3 bulan, aku 2 bulan.”

”Sudah cukup lama.”

”Lama kurasa.”

”Lalu kau berapa tahun?”

”Korupsi berapa tahun?”

”Kau korupsi?”

”Pekerjaan mudah buatku yang tak lulus SMP!”

”Tak laksanakan wajib belajar 9 tahun?”

”Aku mau 16 tahun saja.”

”Lagakmu! 9 tahun saja tak lulus.”

”Apa salahnya bermimpi?”

”Tak ada salah.”

”Lalu?”

”Kau terlalu aneh.”

”Tidak aneh.”

”Sebenarnya...”

”Sebenarnya?”

”Buat apa kita bicara panjang lebar seperti ini?”

”Buat apa? Tentu saja mengisi kekosongan.”

”Sekedar menodai kertas?”

”Ya, mungkin suatu saat jadi fenonemal. Tak sedikit karya lahir di penjara.”

”Contoh?”

”Tafsir Fi Dzhilalil Qur’an milik Sayyid Quthb, tafsir Al Azhar karya Buya Hamka.”

”Kau yakin bisa fenomenal?”

”Bermimpi bukan tabu.”

”Ya, semoga jadi.”

Tiba-tiba, diam merayap menjalari kulit kami. Sepei sendiri bisikkan mimpi dalam alam yag tak terukur peri. Sesaat, kami terkulai. Mungkin kehabisan kata-kata.

”Belum ada makanan buat kita?”

”Masih jam dua.”

”Makanan hotel rupanya tak enak juga.”

”Kau mau ke mana setelah ini?”

”Shalat, mungkin.”

”Shalat?”

”Ya.”

”Kau ingat Tuhanmu?”

”Kalau tidak, kenapa aku mau shalat?”

”Hehehe, kau yakin Izrail belum akan mendatangimu sampai kau keluar dari sini?”

”Biarkan aku berkata entah.”

”Ngomong-ngomong, aku punya teman seorang sales obat penumbuh rambut.”

”Bilang padanya, aku mau uban saja.”

”Ya, mungkin 4 tahun lagi. Saat kau bersujud di atas air.”

”Bersamaku.”

”Do’akan. Biar aku bisa mencicip surga.”

Air pengap mulai merayap pada jari kaki kami. Tawa membahana dari luar, membawa udara banjir penuh tuak ke dalam paru-paru mati kami. Lemparan kotor mengenai muka kami. Di hotel prodeo, kami akhirnya diam.

2008-12-16

di saat kata keluar tanpa ikatan.

kau sendiri, aku sendiri.

maafkan aku yang tanpa arti.



***telah dimuat di Radar Lampung pada kolom SMS Bianglala, pada 11-01-09. Dan dikomentari oleh K' Isbedy Setiawan***

---kak,,makasih banget atas sarang dan kritiknya. nati,,akan kuperbaikin..HWAITING!---


1 komentar:

- mengatakan...

wei keren lho lyot nya
hehe